Senin, 28 Juni 2010

5 ways to keep the cost down on your letterpress wedding invitations

Many brides are absolutely in love with letterpress but are afraid of the higher price tags they usually come with. For style-conscious brides who are looking for letterpress invitations that won’t break the bank, there are many ways to keep the cost down (without sacrificing style). Here are five ways to shop for letterpress invitations on a budget.

1) 1-color designs
It's surprising how 1-color letterpress invitations can turn out to be as equally impressive as 2 or 3 color designs. Letterpress is a lot about texture and retains its rich, luxurious feel regardless of the number of colors. Colored envelopes or belly-bands can be used to brighten up and add contrast to the rest of the set.

2) Reply postcards
Reply postcards are a great way to save on costs and reduce bulk at the same time. Since there is no need for printed reply envelopes, the savings is substantial. Even better, a reply postcard requires less postage.

3) Unprinted envelopes
For brides who do not mind a little extra work, ordering unprinted envelopes is a huge cost savings. Instead of having your address letterpress printed onto the envelopes, you can handwrite your own address for a personal touch.

4) Mix and match
Just because you send out a letterpress invitation doesn’t mean that all of your wedding stationery needs to be letterpressed. Since the invitation is usually a keepsake, most brides prefer to have only their invitation set letterpressed and all other items digitally printed. This means paying a lot less for your place cards, escort cards, programs, menus, and more.

5) Quantity
With letterpress printing, the initial run is the most time consuming, and therefore, costs the most. The larger your guest list, the more you save. For weddings with a large number of invitees, letterpress invitations can be surprisingly affordable.

www.onewed.com

Senin, 21 Juni 2010

shortcut will never work

Proses dan hasil. Itu adalah hukum alam yang harus diterima oleh setiap kita. Cepat atau lambat sebuah proses, tergantung dari effort yang kita berikan di dalam usaha kita tadi. Tapi apakah mengambil jalan pintas juga bagian sebuah proses?

Seperti malam-malam sebelumya, roti bakar menjadi pilihan saya untuk mengganjal lapar di tengah malam. Biasanya roti bakar pesanan saya akan ditemani sahabat baiknya si teh manis hangat di kedai kopi favorit saya.

Malam itu, suasana kedai kopi tidak seperti biasanya yang ramai oleh penghuni tengah malam. Saya tidak menemukan mereka yang bercerita tentang si pelanggan yang rewel, atau mereka yang bergossip hangat tentang teman sekantor atau bahkan mereka yang bergerombol namun terlihat sibuk masing-masing dengan perangkat blackberry-nya. Malam ini, saya merasa mungkin saya yang tidur terlarut malam atau mereka yang sudah tertidur pulas mengakhiri hari ini.

Tidak lama kemudian, masuk dua perempuan dan mengambil tempat di meja seberang saya. Sebut saja, perempuan pertama bernama Mala sebagai si pencerita dan perempuan kedua bernama Shinta, sebagai pendengar yang baik.

“Shin, jadi gue harus gimana?” Ujar Mala dengan nada bingung.

“Sekarang pilihannya ada di elo. Sebelumnya ‘kan elo tau kalau dia udah punya pacar dan elo sendiri yang bilang kalau nggak akan bermasalah ngejalanin hubungan yang kayak begini” jawab Shinta sambil menghembuskan Dunhill menthol-nya.

“Iya iya, gue tau. Awalnya gue emang gak pernah mau ambil pusing buat ini, tapi lama-lama kok hati gw ikut campur ya? Gue pengennya dia buat gw aja, bukan dibagi dua sama pacarnya itu!” Mala dengan nada yang sedikit emosi.

“Darling, kenapa elo jadi egois? Mal, lo sempet mikiran nggak, gimana dulunya si pacarnya ini berusaha buat ngedapetin dia? Atau usahanya dia buat ngedapetin pacarnya ini? Siapa yang tau kalau prosesnya panjang dan gak gampang? Iya gak?”

“Shin, gue gak peduli! Gue cuma mau dia buat gue! Apa to the point aja, gue rebut dia langsung dari pacarnya??” Ujar Mala dengan nada yang semakin tinggi.

“Honey, shortcut will never work! Hari gini semua pake proses. Termasuk cinta. Kalo elo mau yang karbitan mah banyak. Mangga aja sekarang bisa di karbit. Tapi masalahnya, yang mateng dari pohon, rasa manisnya lebih alami” Jawab Shinta dengan santai.

“Kok jadi mangga sih? Emang ada cinta simanalagi atau cinta harum manis? Kalo orangnya kayak dia, gue yakin, pake cara apapun, manisnya tetap akan sama.” Tegas Mala meyakinkan Shinta.

“Mala… Mala, dimana-mana mangga luarnya sama. Keliatannya semua manis, tapi siapa yang tahu kalau isi dalemnya sama manisnya? Sama lah kayak hati, mana ada yang bisa nebak isinya kalo cuma dilihat dari luar? Emang elo yakin kalau si laki-laki pujaan lo ini rasa manisnya ke elo juga sama kayak rasa manisnya dia ke pacarnya? Siapa yang jamin?” tanya Shinta yang membuat Mala sedikit tertegun.

Kedua perempuan tadi semakin larut dalam obrolan cinta karbitan. Semoga mereka tidak membahas cerita cinta versi pisang atau jambu. Saya pun kembali menyantap pesanan roti bakar saya yang agak gosong. Agak pahit memang rasanya. Namun setelah saya meneguk teh manis hangat, rasa pahit dan manis itu bukan lagi beradu tapi mereka saling menggantikan. Pahit gosong si roti digantikan manisnya teh hangat. Mungkin seperti kisah cinta karbitan seperti yang diceritakan dua perempuan tadi. Awal cerita yang pahit memang menyakitkan. Namun siapa yang tahu setelah menjalankan serangkaian proses, justru rasa manislah yang akan dirasakan ketika kita sudah mendapatkan hasilnya. And yes, we do deserve to have our own happy ending! (BRAM)

Kamis, 17 Juni 2010

malu-malu kucing

obrolan ini terjadi pada saat jam makan siang saya bersama salah satu teman kantor, bernama Reza. Kita memutuskan untuk makan siang di food court kantor yang cukup terbilang ramai, karena biasanya hanya ada beberapa meja yang terisi, mungkin karena hujan akhirnya orang pun malas harus beranjak keluar jauh dari kantor..

kita pun memesan menu makan siang masing-masing dan duduk sambil membakar sebatang rokok menunggu hidangan tiba..

"liat tuh bram cowok disebelah sana..matanya jelalatan juga, Kayak kucing yah. Malu-malu tapi tetep usaha."

mata saya pun langsung tertuju pada pria yang duduk sendiri disebelah ujung yang persis berhadapan dengan 4 wanita berparas cantik...

"..... benar ku mencintai mu, tapi tak begini"
samar-samar terdengar alunan lagu anang feat syahrini.

"iya loh bener, gwe sering merhatiin kucing2 di depan warung rumah gwe. lo perhatiin deh, kucing kan gitu..apalagi klo lagi "pengen" nguber teruss. Udah tau cewekny gak mau dia tetep maksa. Tapi giliran gwe usir si cowoknya eh yang cewek nyariin trus nungguin.."

"gwe ngeliatnya itu ilmu bram...yang bisa gwe pelajarin. karena biar gimana pun cowok itu emang harus ngejar si cewek. nah klo ceweknya masih gengsi dan gak mau sm lo berarti ilmunya lo blom dapet"

"menurut gwe, ilmu kucing itu bisa diterapin sama kehidupan kita bram..tapi kehidupan positifnya yah bram jangan cuma jempol lo selipin"

hahahaha...

"sekarang banyak cowok yang usianya 50 bisa dapet cewek yang usianya 20, tapi jarang cewek 50 yang bisa dapet cowok 20"

saya : "mungkin nggak karena faktor u (jelas uang bukan umur)"

"gak fair klo lo bilang faktor u, bnyk juga umur 30 yang udah mapan, yang ganteng, yang bisa disaingin sama si umur 50, tapi kenapa si cewek umur 20 ini bisa lebih milih yang umur 50"

"gwe sih yakin si cowok umur 50 ini udah bisa nerapin ilmu malu-malu kucingnya di kehidupannya dia"

"dia kejar terus sampe dia bisa dapet si cewek ini"

"klo gwe bilang ilmu si kucing itu berlaku banget buat gwe, gwe selalu mengejar tiap pasangan yg mau gwe dapetin..tapi bram, yg tau kapasitas diri lo ya lo sendiri. jangan sampe lo ngejar pasangan lo dalam waktu 2 tahun dan lo gak dapet2. Bukan nyesel karena gak dapetin dia tapi lebih menyayangkan dalam waktu itu lo hanya mengenal 1 pribadi aja. harusnya lo bisa mengenal lebih dari 1 pribadi"

jadi gimana bram..

udah dapet blom ilmu malu-malu kucingnya?
?