Menurut saya ada 2 permasalahan yang sangat sering menjadi trending topic. Pertama masalah cinta, kedua masalah keuangan..Kalau saya pikir-pikir masih berjejer masalah-masalah lain tapi entah kenapa kedua masalah ini yang paling sering jadi obrolan. Mungkin kedua elemen ini yang selalu susul menyusul untuk menempati urutan nomor 1 di chart hits kehidupan. Saya pun berpikir demikian. Saya butuh cinta. Uang apalagi. Saya berusaha untuk memenuhi keduanya. Tapi siapa yang pernah tahu apa yang akan terjadi dengan si cinta dan si uang, apakah keduanya akan baik-baik saja?
Semua orang akan sangat bangganya untuk memamerkan kantor dan jabatan yang tertulis di kartu namanya, dengan bangganya mereka akan mengenalkan pacarnya karena pacarnya adalah seorang anak band atau apalah..Tapi tidak demikian kalau tidak sesuai dengan harapan. Apa iya mereka akan pamer?? Tapi menurut saya pamer itu wajar. Bagaimanapun semua yang ingin kita capai akan melewati proses, entah mudah atau tidak. Dan ketika proses itu membuahkan sebuah hasil, salah satu kepuasannya adalah membagi kabar gembira kepada teman, keluarga, kekasih atau bahkan musuh sekalipun. Ini merupakan sebuah pembuktian diri kalau kita bisa mendapatkan yang lebih baik.
Seperti salah satu teman saya, dia harus resign dari kantornya dengan cara yang menurutnya tidak adil. Setelah mendengar ceritanya, saya pun setuju, Teman saya menanyakan alasan yang membuat dia harus resign dan si BOS dengan mudahnya berkata “Ya, udah nggak bisa aja!!pokoknya gwe udah gak bisa pake lo lagi”. Padahal menurut saya hasil kerja teman saya itu bagus, dia bisa menyelesaikan deadline, dia sering meng-handle beberapa pekerjaan teman sekantornya, dan hubungan dia dengan relasi kerja baik. Tapi si Bos tidak bisa memberikan alasannya yang kuat. Nggak adil? Memang… Kalau saya ada di posisi teman saya, saya juga sangat menolak keras untuk menandatangani surat PHKSP (surat pemutusan hubungan kerja secara paksa). Apalagi tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Seperti gledek di siang bolong. Kalau si BOS udah bilang nggak ya nggak gak ada excuse lain.
Iri jadi BOS, mungkin ini adalah salah satu alasan kenapa banyak orang kepingin jadi BOS. Bisa memutuskan semuanya sendiri tanpa perlu pusing ini itu. Yah semoga tidak berlaku untuk semua BOS. Sayang waktu saya kecil saya belum tahu ada pekerjaan jadi BOS. Dulu yang saya tahu hanya pilot, polisi, dokter, astronot, guru, dan pengantar rol film (hanya untuk si Joni yang punya janji). Belum ada yang menjawab mau jadi BOS ketika besar nanti..
Banyak yang keringat dingin menghadapi BOS, kesal dengan kelakuan BOS yang kadang seenaknya menambah jobdesc, banyak yang bingung harus menjawab apa kalau ditanya ini itu sama si BOS, bahkan yang paling mahfum adalah tidak bisa menolak ketika diberi “bonus” tambahan disaat detik-detik terakhir jam pulang kantor. Ya sudahlah, susah juga buat ngelawan BOS. Ini adalah konsekuensi jadi karyawan. Menerima dengan lapang dada keputusan yang ditentukan oleh si BOS. Tinggal bagaimana kita bisa terima itu dan deal dengan situasi. Saya sendiri tidak punya jurus jitu untuk menghadapai BOS. Kadang saya menyikapi dengan senyum dan menjawab “iya” supaya tidak kena marah dan cepat keluar dari ruangan si BOS.
“Sabar yah, pasti bakal ada rejeki baru, bakal ada kantor baru yang lebih baik, Tuhan punya rencana baik buat lo ke depannya”
Mendengar kalimat di atas, rasanya seperti mendengar buku panduan. Beberapa teman akan menjawab sama, mungkin mereka meng-copy paste, atau bingung harus mencari kalimat yang pas. Tapi itu hal kecil yang dibutuhkan ketika kita jatuh. Nasihat, dorongan, dan support dari orang terdekat menjadi obat ampuh seketika. Ternyata masih ada yang rela mendengarkan keluhan, masih ada yang mau mengajak kita tertawa. Saya yakin Tuhan tidak akan pernah tidur, pasti akan ada sesuatu yang direncanakan. Saya yakin ada hadiah manis yang sedang dibungkus Tuhan dan akan diberikan di waktu yang tepat, karena Tuhan gak mau spoiler.
Saya inget guyonan salah seorang teman yang berkata, “Rejeki tuh gak akan pernah ketuker lagi, emang sendal jepit bisa ketuker.” Saya sempat bingung korelasi antara rejeki dan sendal jepit. Well, itu cukup menggelitik saya. Saya tersenyum dan berharap semoga rejeki saya seperti sendal Birkenstock yang mudah-mudahan gak akan ketuker sama sendal jepit swallow.
Bagi saya mungkin bukan karena kehilangannya tapi lebih kepada caranya. Kalau alasannya tepat dan ada pemberitahuan jauh-jauh hari semuanya akan bisa diterima dan lebih ada persiapan. Persiapan untuk punya pekerjaan baru dan tidak perlu merasa luntang-lantung karena bingung harus membayar semua tagihan yang datang rutin tiap bulan..Apa iya si kartu ajaib itu akan mengerti? Tentu tidak.
Ketika semuanya sudah terjadi dan tidak sesuai harapan, Saya hanya bisa menghibur diri sendiri dengan mengatakan “jangan pernah takut, pasti gwe bisa lewatin.” Ya, berusaha untuk meyakinkan diri sendiri.
Kalau beberapa orang mengatakan hidup itu seperti roda, menurut saya lebih pas kalau dibilang seperti bianglala. Rasanya campur aduk. Mulai dari deg-degan, senang, takut. Semuanya saya rasakan ketika saya naik bianglala sewaktu kecil. Saya menangis karena saya takut ketinggian, karena saya berpikir pasti sakit rasanya jatuh dari ketinggian beberapa meter. Tapi setelah bianglala itu berputar dan terus berputar, saya lupa kalau saya baru saja menangis. Tangisan saya hilang sekejap. Saya sangat menikmati si Bianglala ini. Pada saat saya di bawah saya bisa melihat ke atas dan pada saat saya di atas saya melihat lebih tinggi ke atas. Ternyata saya disadarkan bahwa semuanya itu berputar. Tidak melulu berada di atas tapi bisa berada di bawah. Memang senang rasanya berada di atas merasakan kencangnya angin dan bisa melihat apa pun dari atas. Seakan seperti punya kuasa atas apa pun. Ketika saya sampai di bawah, saya bisa melambaikan tangan untuk menyapa Ibu yang menunggu saya. Lambaian tangan saya dibalas dengan sebuah senyuman dibalas oleh Ibu. Di sana saya merasakan bahwa Ibu tahu bagaimana kesenangan yang saya rasakan. Saya yakin bahwa Ibu akan selalu ada ketika saya di atas ataupun di bawah. Beliau hanya mengingatkan saya untuk selalu berhati-hati. Ketika saya jatuh ibu tetap tersenyum untuk saya dan dia tidak akan membiarkan saya merasakan sakitnya sendiri. Dengan kasih sayangnya, Beliau membantu saya untuk bangkit kembali. Tidak ada seorang ibu yang mau melihat anak yang disayanginya jatuh, mereka pasti akan senang melihat anak kesayangannya berdiri tegak dan bisa melewati semuanya.
Saya belajar satu hal, bagaimana kita harus bersyukur dalam berbagai situasi. Saya bersyukur dengan rejeki yang diberikan oleh Tuhan, dengan baiknya Tuhan memberikan kemurahan rezekinya kepada saya. Saya juga bersyukur memiliki banyak sahabat dan keluarga yang peduli dan menyayangi saya. Mungkin Tuhan sedikit menyadarkan saya untuk menjadi manusia yang lebih bersyukur lagi. Dan untuk ibu, terimakasih untuk rasa sayangnya. Saya selalu ingat ibu pernah bilang “Tuhan nggak pernah salah ngasih rezeki, rezeki nggak akan pernah ketuker” (BRAM)